Senin, 24 Januari 2011

REVOLUSI CINTA TANPA BATAS


REVOLUSI CINTA TANPA BATAS

Aku tak pernah berfikir bahwa akan terjadi Revolusi Cinta Tanpa Batas. Cinta yang tak mengenal wajah, cinta yang tak mengenal sua, dan cinta yang tak mengenal respon. Hari ini aku menemukannya. Dalam hatiku, dalam fikiranku, dan dalam duniaku. Tak pernah ku bagi pada siapapun. Hanya aku yang tahu dan merasakan betapa indah namun kejam dan sangat menyakitkannya perubahan cinta yang tak mengenal batas waktu dan ruang. Entah kapan aku menemukannya. Fajar, terik, senja, atau ketika tengah malam buta. Mungkin dikala hujan, panas, atau bahkan diwaktu pagi yang pucat saat awal musim semi karena sisa-sisa musim dingin. Dan sejak kapan aku merasakannya aku tak ingat. Mungkin sejak fikiranku dapat berimajinasi. Semua itu mengalir lembut dan menyusup rapih dalam imajinasiku. Sempurna. Jika untuk mengacaukan fikiranku. Begitulah aku mengenalnya.

Tahukah bahwa karena tak terbatasnya cinta yang membuat orang begitu sakit untuk mengecapnya. Setidaknya begitulah yang aku rasa.

Saat aku bartemu dengannya semua terasa indah. Aku bagai memiliki duniaku sendiri yang tak pernah diketuk orang. Hanya ada aku dan dia. Lembut dan dingin wajahnya sungguh jelas terukir. Halus suaranya benar-benar ku dengar.

Sepenggal kisah atas nama cinta. Kini aku benar-benar siap untuk membaginya. Meski aku akan dianggap gila. Karena mencintai hanya dengan imajinasi. Karena itulah Revolusi Cinta Tanpa Batas.
***

Banten, Februari Rain
Aku hampir dibuat gila. Bukan karena hujan yang sedari kemarin tak henti-hentinya mengguyur bumi Allah yang membuat sebagiannya tergenang banjir. Padahal ini bukanlah bulan Desember. Ini adalah bulan Februari yang kata orang bulan penuh cinta. Bumi sudah tak sehat lagi sehingga panas dan hujan bisa datang dan pergi sesukanya tanpa menunggu musim. Tak stabil lagi. Namun karena aku merasakan fikiranku berperang dengan hatiku. Tak sejalan lagi. Jiwaku tak mampu mengendalikannya, juga tak sanggup untuk memisahkannya dan menyatukannya kembali agar sejalan. Ku rasa salah satunya sedang bermasalah. Apa sebenarnya yang merasuki fikiran ku sehingga tak sejalan lagi dengan kata hati? Perang fikiran ku antara yang nyata dan tidak. Juga karena sesuatu yang amat sensitif di dunia, mereka bilang itu cinta. Aku tak tahu harus menempatkan diriku dimana. Aku kehilangan ½ dari fikiranku. Namun ku rasa utuh hatiku. Hati ku masih sanggup berkata bahwa ½ fikiran ku salah. Namun karena rapuh, hatiku tak sanggup mengembalikannya. Sesuatu yang hilang dari fikiranku atau bahkan memperbaikinya.

Memikirkan apa kata hati dan sesuaikan fikiran dengan hati. Begitulah seseorang berkata padaku saat kegundahan itu datang. Namun tetap saja tak bisa. Aku harus mencari jalannya. Ini sudah benar-benar gila. Namun aku menikmatinya. Setiap jengkal fikiranku melayang pergi mendekati alam imajinasi, setiap jengkal itu pula aku menikmati segala sesuatu yang kurasakan dan kutemukan di sana. Di sana lah aku menemukannya. Yang nantinya akan mengajarkanku tentang cinta yang tak terbatas.
***

Sejuk. Itu yang ku rasa saat aku menatap wajahnya. Bagai angin, embun dan salju menjadi satu. Bahkan lebih dari sekedar menyejukkan jika terus dipandang. Begitukah hamba Allah? Mungkin akan menjadi lebih sejuk jika Allah menempatkannya di surga nanti. Sungguh. Tak ada alasan untuk ku berbohong soal parasnya. Nyatanya ini disetujui oleh banyak kaum hawa. Dari paras yang kian sejuk, ku katakan bahwa aku tak pernah melihat senyum manis semanis yang ia punya. Senyumnya teramat manis untuk seorang kaum adam.

Jernih. Begitu aku menyebutnya. Katika aku mendengar suaranya. Nada-nada ketika ia berdendang dilantunkannya amat lembut. Mampu membuat hatiku melemah dan jiwaku meleleh. Mungkin ketika Tuhan membagikan suara kepada manusia ia tampak paling depan dalam antrean sehingga ia mendapatkan suara yang paling merdu dan lembut. Membuatku tak henti mengucapkan Subhanallah jika aku mendengarnya bernyanyi.

Terbayangkah oleh kalian bagaimana sosok itu? Sempurna. Setidaknya untuk ukuran manusia. Sebab aku belum pernah melihat kurangnya. Mungkin suatu hari nanti.

Apa yang ku rasa saat ini tak pernah aku bayangkan. Mengalir begitu saja. Tak bisa ku cegah. Teramat lembut dan halus hingga mampu menyusuri pori-pori kemudian menembus rongga dada lalu mengetuk pintu hati dan singgah di relungnya untuk waktu yang lama. Bagi ku itu sangat menyiksa. Itulah yang membuatku merasa ½ fikiran ku salah. Ini tidak benar. Padahal aku yakin dengan hatiku namun mengapa hatiku juga tak mampu mengendalikannya.
***

Cinta itu lembut sekali. Mudah datang dan susah pergi. Itu lah yang kini menggerogoti hatiku. Faktor utama yang menyebabkan pecah perang antara hati dan fikiran. Semakin lembut namun begitu tajam rasanya. Terlebih jika aku memandang wajahnya dan mendengar suaranya. Semakin tajam saja dan sangat menyiksa. Tak mampu ku kendalikan padahal ini sudah tidak sehat.

Apa yang harus ku lakukan jika aku jatuh cinta padanya? Tak pernah ada sebelumnya perasaan ini. Tak sedikitpun ku rasa sebelumnya, yang sangat lembut namun tajam bagai sembilu. Jika saja aku tak hati-hati maka aku akan mati. Benarkah perasaan ini? Sungguhankah? Bahkan aku sendiripun tak percaya jika aku jatuh cinta padanya.
“Ya Allah aku ingin Engkau membimbingku” batin ku menjerit. Hilangkan saja perasaan ini padanya. Memang tak salah jika manusia merasakan cinta. Namun bagi ku ini salah, aku tak mampu menempatkannya. Mungkin ini adalah dosa.
“ya Allah aku tak sanggup menahannya” bagitu kata hatiku berbisik.
***

Angan-anganku melayang. Otak ku meluap. Aku tak bisa membedakan imajinasi dan kehidupan nyata. Aku bertemu dengannya di lorong-lorong imajinasiku. Seusai berwudhu aku berpapasan dengannya disebuah lorong dalam bangunan terlihat seperti studio musik. Ia menawarkanku sajadah untuk ku pakai sholat dzuhur. Wajahnya bersih, terlihat bercak air wudhu yang belum karing.
“mau pakai?” begitu ia bertanya padaku dengan senyum sambil menghentikan langkahnya.
“boleh” hanya itu yang bisa ku ucapkan. Ia memberikannya padaku. Aku menggenggamnya dengan kedua tanganku. Ku peluk erat sejadahnya sambil terus berucap “astagfirullahaladzim” sebanyak mungkin. Aku tak kuasa menahan pandanganku. Aku menunduk begitu dalam disetiap langkahku.

Dalam do’a ku, aku memohon agar Allah selalu melindunginya. Dengan menyebut nama Allah disetiap waktu tidurku sebelum memejamkan mata, aku memohon untuk keselamatannya. Apakah itu ia lakukan juga untuk ku? Hanya Allah dan hatinya yang tahu.
“Mario. Sajadahnya terimakasih” singkat namun tulus dari hatiku.
“iya sama-sama” katanya dengan tak lupa menyertakan senyum. Manis sekali.

Melalui sajadah, Allah mempertemukan ku dengannya di setiap lembar fikiranku. Indah bukan?.
***

Ya Rabb aku baru saja mendengarnya melantunkan sebuah nyanyian cinta. Bagai berbisak. Aku merasa tulang-tulangku telah dicabut dari tubuh ku. Ya Allah itu kah suara malaikat? Namun kenyataannya itu adalah suara Mario, seorang manusia yang Engkau ciptakan amat manis malebihi tebu jika diperas airnya. Jika ia melantunkan nyanyian cinta begitu merdu maka bagaimana jika ia melantunkan Ayat-Ayat Allah? Mungkin akan lebih dari sekedar suara malaikat. Sungguh aku ingin mendengarnya. Lebih dari sekedar ingin.
***

Hampir tak ada celah dalam setiap lipatan syaraf ku yang tak diisi oleh sosok manisnya. Jika saja syaraf-syaraf otak ku dapat berteriak maka mereka akan menyerukan “Mario, Mario, Mario”. Ini sungguh tidak benar. Jika saja bisa aku ingin mengganti otak ku.

Sungguh gila. Detik ini aku merindukannya. Sungguh rindu dalam ruang rindu hati ku. Benar-benar sudah tak terbatas. Dosa apa ini? Aku dengan berani merindukannya.

Aku bersajak sambil menangis untuk sekedar melepas emosi rinduku padanya. Wahai orang yang lembut hatinya yang sudi memberikan sajadah pada gadis seperti ku bisakah aku bertemu kembali dengan mu?
***

Senja Kala di Bulan Maret
Ruang rindu hatiku masih disesaki oleh kerinduan. Angan-angan ku kembali melayang. Fikiran ku kembali melakukan perjalanannya. Di waktu magrib saat matahari mulai memerah dan langit berubah jingga. Aku menyaksikan kembali apa yang telah lama ingin ku saksikan. Di sebuah masjid sederhana, suasana berubah menjadi amat pucat. Dari sela-sela pintu masjid yang putih aku melihatnya berdiri di depan mimbar. Langkahku terhenti karena lantunan adzan. Mario. Aku terpaku hingga adzan selesai dikumandangkan. Jujur dari hati. Lembut. Jika aku pernah mengatakan bahwa itu adalah suara malaikat ketika ia bernyanyi lagu cinta maka kini ku katakan itu adalah lebih dari sekedar suara malaikat ketika ia mengumandangkan adzan. Itu suara peri surga, mungkin sosok yang lebih lembut dari peri surga.

Belum puas rasanya jika kalian belum mengetahui seberapa lembut hatinya. Dengan mata ku, aku melihat kelembutan hatinya. Masih di waktu senja ketika menjelang malam. Dari sela-sela sekat antara shaf wanita dan shaf pria aku melihatnya bersujud begitu khusYu, kemudian usai salam lalu berdoa dan ia mulai melantunkan Ayat-Ayat Allah. Ya Allah dosa jika aku seperti ini. Karena telah mengexploitasi hati ku dan perasaan ku terhadap orang lain. Bagitu cintanya ia terhadap Tuhannya, luas tak terbatas. Aku menenggelamkan wajahku dalam balutan mukena. Menangis karena malu. Bukan pada Mario namun kepada Allah. Dua puluh meter dari sisi kananku, aku menyaksikan sendiri hamba Allah yang ku cintai bersujud khusyu di hadapan Allah seolah cintanya hanya untuk Tuhannya tak terbagi lagi. Sedang aku gadis yang belum tentu dicintainya masih membagi cinta ku untuk Tuhan dan orang lain dan masih barani lancang untuk merindukannya. Ya Allah aku tak sanggup membendung tangis ku.
***

Apa lagi yang akan ku temui hari ini? Fajar telah usai, mentari pagi mulai naik hangatnya kian terasa membelai tubuh. Aku masih menyimpan malu atas peristiwa senja itu. Aku gadis berjilbab namun bagitu berani mengexploitasi cinta pada seseorang yang bukan muhrim ku. Aku jatuh cinta kerena ia begitu mencintai Allah. Berharap ia mengajari ku bagaimana memberikan cinta yang utuh kepada Allah.

Terik tertutup mendung. Suasana berubah kelabu, tak lagi terang. Seperti angan ku yang meluap. Siang terasa abu-abu. Aku melangkah tanpa arah dan tujuan. Dalam perjalanan, hati ku bergetar. Ia bersama anak-anak jalanan berbagi nada dan irama di sebuah bangunan kosong pinggir jalan. Tak peduli siang menjadi kelabu, tak peduli hujan akan segera menyerbu. Dalam hatinya hanya gembira, berbagi bahagia bersama mereka yang memang hanya mengecap duka dalam hidupnya. Mario. Itu sisi lain yang baru ku temui dalam dirinya. Bagaimana ini? Aku tak sanggup jika harus terus-menerus menanggung dosa karena cinta. Hati ku semakin melemah. Terlalu banyak cinta yang ia tunjukan pada ku. Ya Allah tidak kah Engkau meninggalkan ku tenggelam dalam lautan cinta dunia yang ditawarkan pria itu?
“Mario” aku memberanikan diri untuk menyapanya. Semakin terasa melemah.
“Chrishan, mau ikut?” Tuhan... apa lagi ini? Semakin membuat ku bergetar. Tak sanggup berkata-kata aku hanya mengangguk.
“sering ya... main disini?” tanya ku gugup.
“iya. Aku mengajari mereka musik, mereka semua bagus. Aku senang disini” matanya menatap ku. sungguh berbinar. Aku tak tahu bagaimana wajah ku dalam pandangannya. Belum sempat aku berkata-kata.
“kamu bisa mengajari mereka ilmu pengetahuan? Anggap saja untuk membantu ku mengajari mereka. Kita bisa berbagi. Mau?” matanya menatap mereka yang sedang bermain nada. Tak ada alasan untuk ku menolaknya.

Mario. Dengan nada dan irama ia mampu berbagi cinta dengan mereka yang sering mengecap duka karena hidup yang kian merana. Setidaknya untuk mengembalikan senyum mereka. Karena cintanya ia mampu berbagi pangan dan sandang kepada mereka yang menggelandang.

Getaran hati ku tak terkendali lagi. Lebih dari sekedar cinta yang ku rasa. Ya Allah bahan apa yang Engkau gunakan untuk menciptakan hati seorang Mario?
***

Cinta ku penuh dengan kekaguman. Mungkin itulah yang lebih tepat untuk menggambarkan perasaan ku. Hati ku kian tertawan. Jalan fikiran ku kian berkelok, sudah tak lurus lagi.

Menakjubkan. Siang yang kelabu menjadi saksi bersama tangan-tangan mungil yang memetik gitar kecil atas percakapan berharga yang terjadi antara aku dan Mario. Bagi ku sungguh berharga. Sederhana namun bermakna.

Waktu terus berputar. Semakin lama semakin tak tekendali gemuruh dalam fikiranku. Biar saja semuanya berjalan natural. Biarkan semuanya terjadi sesuai takdir. Biarkan aku menikmati gemuruh fikiran ku dan getaran hati ku. Biarkan saja. Meski aku sesak di buatnya. Sakit rasanya karna ia tak pernah tahu bahwa gadis ini mencintainya.
***

Siang memanas. Aku masih dengan dunia ku sediri. Tak ada orang lain, kecuali Mario yang datang begitu saja entah dari mana dan berani mengacaukan fikiran ku, masuk dan membuat berantakan hati ku.

Melayang ke sebuah pusat perbelanjaan. Karena begitu terik tubuh terasa terbakar. Mungkin sedikit berjalan dalam ruangan ber AC bisa sedikit meluapkan hawa panas dalam tubuh.

Sendiri berjalan dikeramaian namun bagai tak ada orang disekitarku. Terus berjalan memanjakan mata dengan barang-barang indah yang bertengger di etalase. Aku berhanti sejenak di depan toko muslim. Tak tahu dari mana asalnya telingaku menangkap suara yang begitu akrab.
“assalamu’alaikum, Chrish mau masuk?” Astaga. Mario lagi yang ada dihadapanku. Sudah cukup rumit fikiran dan hati ku karenanya sekarang masih harus ditambah lagi. Seandainya ia tahu. Ya Allah ampuni aku karena aku tak punya alasan untuk menolak masuk ke dalam toko bersamanya.
“cari apa mario?” Aku berusaha terlihat biasa.
“itu. Aku cari mukena itu” Jarinya menunjuk mukena putih bermotif bordiran halus merah jambu. Dahsyat. Wanita yang akan menerimanya, hatinya pasti akan runtuh.
“untuk siapa?” Tanya ku penasaran.
“untuk ibu itu” Matanya jauh memandang ke sebrang jalan sana. Ia menunjuk seorang nenek tua yang duduk di depan sebuah toko dengan tongkat berjalan di sampingnya. Apa? Untuk nenek itu.
“kenapa Mario?” Pertanyaan yang sedikit aneh. Namun itu lah jika ingin mengetahui alasannya.
“kenapa? Karena seminggu yang lalu aku ke tempat ini bersama ibu ku. matanya lekat memandang mukena itu. Aku tahu ia menginginkannya. Aku ingin memberikannya tepat  ketika hari ulang tahunnya. Hari ini lah ia ulang tahun. Namun tak sampai hari ini Allah sudah merindukannya hingga ia harus pergi tiga hari yang lalu. Kamu tau itu. Sama seperti hari ini aku melihat nenek itu seminggu yang lalu bersama ibu. Hari ini aku melihatnya aku ingat ibu dan ingin memberikan mukena ini unuk nenek itu, agar ibu tak kacewa dan merasa bahagia” Sesak aku mendengarnya. Rasanya ingin menangis. Namun ku tahan.
“Mario kamu begitu mencintai ibu mu” Suara ku bergetar.
“lebih dari sekedar cinta. Yuk duluan ya....” lenyap begitu saja. Dari sebrang sini aku menyaksikannya mencium tangan sang nenek dan memberikan bungkusan mukena itu padanya. Ya Allah, jemari ku bergetar melihatnya.
***

            Setiap hari ku selipkan namanya dalam do’a. Biarkan saja aku mencintainya dalam diam. Hati ku tak berharap ia tahu dan membalasnya. Cukup bagi ku Allah yang tahu. Baginilah cara ku untuk mencintai seseorang. Menyelipkannya di setiap do’a-do’a ku. Biarkan Allah yang menjaganya. Jika diizinkan maka nantinya Allah juga lah yang akan menyatukannya.
***

            Petir  menyambar begitu dahsyat dari langit. Hingga kilatannya memberi warna terang pada bumi yang kelabu. Aku bergetar. Hati ku tersentak.
“Mario” teriak ku. Bukan Mario, yang kutemui adalah sepi kamar ku dan gemuruh hujan.
“astagfirullahaladzim” Hati ku tak henti beristigfar. Kurasa begitu cepat debarannya. Tak terkendali.
“Ya Allah, setan apa yang merasuki ku? hinggaa aku melamun begitu lama, terbang berimajinasi begitu jauh. Sangat jauh namun indah. Ampuni aku” batin ku berbisik.

            Aku keluar dari dunia imajinasiku yang tak pernah diketuk orang hanya aku dan Mario yang hidup di dalamnya. Gemuruh hujan dan dentuman petir yang membawa ku kembali pada dunia ku yang nyata yang penuh tantangan dan harapan, penuh dengan orang-orang yang memang benar-benar mencintai ku, dan tak selamanya akan indah. Tak ada Mario yang ku cintai disini. Lelaki sempurna yang diciptakan imajinasiku.

***
            Meskipun aku sadar bahwa itu hanyalah bagian dari lembaran imajinasiku namun aku masih bisa mendengar merdu suaranya bahkan aku mampu melihat bayangan lembut parasnya melalui retina mataku. Aku sanggup menyimpannya dalam hati meski itu tidak nyata. Mungkin hanya aku yang bisa, karena aku mengalaminya melalui perang fikiranku dan itu sangat indah. Itu lah kenapa ku rasakan ½ fikiran ku hilang. Salah, karena melayang mendekati imajinasi menemui Mario. Dan hati ku sadar bahwa itu salah.

            Aku mengerti mengapa manusia menyebut bahwa kekuatan cinta itu dahsyat. Memang dahsyat, hingga orang seperti aku mampu mencintai melalui imajinasi. Mungkin itulah cinta tanpa batas. Mencintai tanpa batas ruang dan waktu bahkan jarak dan perbedaan dunia sekalipun. Tak terbatasnya cinta mampu membawa ku melayang ke alam imajinasi untuk mencintai dan mendo’akan seseorang dengan kondisi ku di dunia nyata.

            Terlalu banyak cinta yang diajarkan Mario padaku meski melalui media imajinasi, namun begitu melekat di hatiku. Perjalanan khayal yang luar biasa. Begitu pekat untuk mempengaruhi hidupku.

            Mario. Banyak cinta yang ia punya. Ia punya cinta yang utuh untuk Tuhan. Satu paket penuh tak terbagi lagi. Ia juga punya cinta  untuk berbagi dan mengasihi manusia. Kemudian cinta yang sama utuhnya untuk Ibu yang memang sudah bergelimpahan cinta di sisi Allah. Semua itu utuh ada dalam hatinya. Luas tak terbatas. Mungkin sampai ia menerima balasan cinta dari Allah dalam Firdaus_Nya.
***

            Aku masih memikirkannya. Jika saja ia tidak pernah tercipta, aku tidak akan pernah mencintainya dan merindukannya meski itu dalam galaksi imajinasiku. Fikiran ku tak akan berperang dan terganggu kerenanya.

            Pada akhirnya Mario memang tidak pernah ada. Tuhan tidak menciptakannya. Aku lah yang menciptakan Mario dalam surga fikiranku kemudian ku buang ke bumi imajinasiku. Perih bukan? Mencintai dalam khayalan, tak pernah menjadi nyata.
***

            Sayup-sayup ku dengar suara adzan magrib dari kamar ku. Suara yang persis sama yang ku dengar dalam imajinasiku. Namun ini nyata. Aku tak mau menambah dosa dengan berfikir yang tidak-tidak. Bergegas ku ambil wudhu untuk menunaikan seruannya. Tak lama aku terhanyut dalam kekhusyuan sholat.
           
            Aku menangis dengan Al-Qur’an dalam pelukan ku. Aku takut itu dosa. Semua yang ku alami dalam lamunanku yang panjang. Hanya Allah yang tahu dan memutuskan itu dosa atau tidak. Hati ku terus beristigfar. Memohon ampun. Untuk semuanya. Untuk lamunanku, atas ketidaksetiaan ku terhadap komitmen kepada Tuhan, atas segalanya yang ku perbuat.

            Aku bergegas mengusap air mataku ketika ku dengar seseorang membuka pintu kamar ku. Ibu. Fikiran ku melayang kembali dalam lamunanku tentang Mario. Aku teringat sesuatu. Melihat wajah ibu yang kian renta aku ingin melakukan sesuatu untuk ibu.
“ibu duduk sini ya jangan kemana-mana, sebentar aku kembali” aku bergegas ke dapur mengambil tempat yang ku isi air hangat. Segera aku kembali kekamar. Aku tak mau ibu menunggu lama. Aku duduk di bawah kaki ibu. Ku letakkan tempayan air di hadapan ku dan meletakkan kaki ibu kedalamnya.
“aku cuci kakinya ya bu” aku bergetar. Sedikit ku rasakan air mata ku meleleh. Aku tak mau ibu melihatnya.
“kamu kenapa nak?” suara ibu terdengar begitu bergetar.
“aku ga apa-apa. Aku sayaaang.... banget sama ibu”. Ada sesuatu yang menetes di lengan ku. Aku tak berani melihatnya karena air mata ku tumpah ruah tak terbendung.